Sejak diundangkannya UU Tindak Pidana Korupsi pada tahun 1957, banyak perubahan telah terjadi. Meskipun begitu, substansi hukum dalam undang-undang tersebut masih dianggap tidak mencukupi sejumlah ketentuan minimum yang diatur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) oleh sejumlah pihak, termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW).
ICW menilai bahwa pengaturan mengenai berbagai jenis tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi perlu diperhatikan lebih serius. Hal ini termasuk pengaturan suap asing, suap pejabat organisasi internasional, pengayaan ilegal, dan perdagangan pengaruh yang saat ini masih belum diatur secara memadai dalam hukum Indonesia.
Di samping itu, ancaman hukuman bagi pelaku korupsi juga menjadi sorotan. Denda yang dikenakan terhadap pelaku dinilai tidak sebanding dengan keuntungan besar yang diperoleh dari hasil korupsi, yang mengindikasikan bahwa undang-undang yang ada saat ini sudah tidak relevan lagi dengan kondisi nyata.
ICW menyatakan bahwa UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi tergolong usang, meskipun telah ada beberapa perubahan yang dilakukan. Empat pasal dalam perubahan tersebut tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, namun menurut ICW, perubahannya tetap tidak cukup untuk mengatasi akar masalah korupsi di Indonesia.
Dalam pandangan ICW, perampasan aset korupsi masih belum dimanfaatkan dengan optimal. Ini menjadi salah satu alat pemulihan kerugian negara yang sangat potensial, tetapi implementasinya belum memadai, sehingga belum mampu menyentuh total kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi.
Lebih lanjut, jika kita melihat penerimaan negara bukan pajak dari perampasan denda dan uang pengganti dalam kasus korupsi, jumlah tersebut masih jauh dari total kerugian yang diakibatkan. Ini menunjukkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara masih jauh dari kata maksimal dalam penegakan hukum yang ada saat ini.
Perkembangan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Sejak 1957
Sejak diundangkannya UU Nomor 31 Tahun 1999, hukum korupsi di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan. Perubahan ini merupakan respons terhadap tingginya angka kasus korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.
Banyaknya kasus korupsi yang mencuat telah memicu pemerintah untuk melakukan revisi undang-undang. Namun, meskipun ada perubahan, banyak pihak merasa bahwa substansi hukum yang ada masih dirasa kurang untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada saat ini.
Dalam revisi yang dilakukan, terdapat upaya untuk memperluas cakupan jenis tindakan korupsi. Namun, beberapa hal penting seperti pengaturan tentang suap asing belum sepenuhnya terakomodasi.
Walaupun begitu, ancaman pidana yang lebih berat telah diterapkan dalam beberapa pasal yang direvisi di KUHP baru. Hal ini diharapkan dapat menjadi deterrent effect untuk mencegah tindakan korupsi di masa depan.
Ketentuan Minimum dalam UNCAC yang Perlu Diterapkan di Indonesia
UNCAC sebagai instrumen internasional menekankan pentingnya kesepakatan bersama untuk memberantas korupsi secara menyeluruh. Banyak ketentuan dalam UNCAC yang hingga saat ini belum termuat dalam undang-undang Indonesia.
Beberapa ketentuan yang wajib diterapkan antara lain mengenai pengaturan suap kepada pejabat asing dan organisasi internasional. Regulasi ini penting untuk memastikan semua bentuk korupsi teratasi dalam kerangka hukum yang jelas.
Pentingnya implementasi ketentuan ini juga berhubungan dengan reputasi Indonesia di mata internasional. Jika tidak diakomodasi, Indonesia berisiko kehilangan posisi dan pengaruhnya dalam kerangka kerjasama internasional dalam pemberantasan korupsi.
Selain itu, pengayaan ilegal sebagai bentuk tindakan korupsi juga perlu diatur secara lebih tegas. Tanpa adanya ketentuan yang jelas, pelaku dapat dengan mudah melakukan tindakan yang merugikan keuangan negara tanpa rasa takut akan sanksi hukum.
Analisis Mengenai Ancaman Denda dan Pemulihan Kerugian
ICW mencatat bahwa ancaman denda dalam undang-undang tidak lagi sebanding dengan besarnya keuntungan yang dapat diraup pelaku korupsi. Dalam banyak kasus, pelaku sering kali mampu membayar denda dan terus mendapatkan keuntungan dari tindakan korupsi yang dilakukan.
Oleh karena itu, perlu adanya pemikiran ulang mengenai struktur denda. Denda seharusnya dirancang untuk benar-benar memberikan efek jera, dan bukan sekadar menjadi formalitas yang mudah diabaikan oleh pelaku.
Implementasi perampasan aset korupsi juga dianggap sebagai langkah yang sangat penting. Aset yang diperoleh dari tindakan korupsi seharusnya bisa dikembalikan untuk memulihkan kerugian negara secara maksimal.
Namun, saat ini, proses tersebut masih terlihat kurang optimal. Penegakan hukum dalam hal ini perlu ditingkatkan agar lebih efektif dalam memulihkan kerugian keuangan negara.















