Lokataru Foundation mengungkapkan delapan kejanggalan yang muncul dalam proses penangkapan serta penetapan status hukum Delpedro Marhaen dan rekan-rekannya. Kejanggalan ini mencerminkan pelanggaran serius terhadap prinsip hukum dan hak asasi manusia yang seharusnya diterima oleh setiap individu dalam proses penegakan hukum.
Pernyataan ini disampaikan oleh Hasnu, Manajer Penelitian dan Pengetahuan Lokataru Foundation, menjelang keputusan praperadilan yang menentukan nasib Delpedro dan kawan-kawan. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan terlibat dalam penghasutan aksi demonstrasi yang berujung pada kericuhan pada bulan Agustus yang lalu.
Dalam keterangan yang dilepas ke publik, Hasnu menegaskan bahwa pemantauan yang dilakukan bersama sejumlah organisasi sipil lainnya menunjukkan bahwa terdapat banyak kesalahan dalam prosedur hukum yang diterapkan oleh pihak termohon. Hal ini tentu membahayakan prinsip-prinsip keadilan dan hukum yang seharusnya mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.
Delapan Kejanggalan dalam Proses Penangkapan dan Penetapan Hukum
Kejanggalan pertama yang ditemukan adalah proses penangkapan yang dilakukan tanpa mengikuti prosedur hukum yang benar. Delpedro dan rekan-rekannya ditangkap tanpa adanya panggilan resmi dan tanpa diberitahukan tentang tuduhan yang dikenakan kepada mereka.
Hal ini menandakan bahwa penangkapan tersebut bersifat sewenang-wenang, di mana para tersangka tidak mendapatkan hak untuk mengetahui alasan penangkapan. Tanpa informasi yang jelas, tindakan ini bisa dicap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang mencerminkan ketidakadilan dalam proses hukum.
Kejanggalan kedua berhubungan dengan pelanggaran hak tersangka. Selama proses praperadilan, para pemohon tidak dihadirkan di ruang sidang, yang dianggap sebagai pengingkaran terhadap hak mereka untuk memperoleh pembelaan hukum yang layak.
Proses praperadilan seharusnya tidak hanya memeriksa prosedur, tetapi juga melindungi martabat setiap individu. Pertanyaannya, bagaimana bisa menghormati hak asasi manusia jika mereka sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk hadir dan membela diri di hadapan hakim?
Selanjutnya, kejanggalan ketiga mencakup pengabaian permintaan untuk menghadirkan tersangka. Meskipun tim hukum telah secara resmi meminta agar Delpedro dan rekan-rekannya dihadirkan, permintaan tersebut tidak pernah ditanggapi dengan serius oleh pihak hakim.
Pentingnya Akses Hukum yang Setara dan Adil
Di sisi lain, kejanggalan keempat menunjukkan bahwa ada ketidaksetaraan dalam akses hukum. Hasnu menegaskan bahwa posisi pemohon dan termohon dalam persidangan sangat timpang, seolah-olah keadilan lebih berpihak kepada pihak yang berkuasa.
Seharusnya, akses terhadap keadilan harus berlaku secara setara bagi semua pihak tanpa memandang status atau kekuasaan yang mereka miliki. Ketidakadilan ini menciptakan pandangan negatif terhadap integritas hukum yang seharusnya dijunjung tinggi.
Kejanggalan kelima adalah mengenai independensi hakim yang dinilai terancam. Lokataru mengingatkan pentingnya menjaga agar majelis hakim tidak terpengaruh oleh intervensi dari pihak mana pun agar tetap dapat memberikan keputusan yang fair dan tidak bias.
Pentingnya menjaga independensi hakim sangat krusial, karena jika kehormatan mereka goyah oleh tekanan eksternal, maka keadilan yang dijunjung akan dengan mudah diperdagangkan. Sebuah pengadilan yang independen harus menjadi benteng terakhir bagi pencarian keadilan.
Analisis Terhadap Bukti dan Diskresi Penyidik
Kejanggalan keenam berfokus pada penggunaan bukti yang dianggap dipaksakan. Pihak termohon memanfaatkan keterangan dari seorang anak sebagai bukti, yang kemudian dinyatakan oleh para ahli hukum sebagai tidak sah dan cacat hukum.
Jika bukti tersebut tetap digunakan dalam proses hukum, maka akan sangat merugikan dan mencederai prinsip keadilan. Hal ini menunjukkan bahwa hakim seharusnya membatalkan penetapan tersangka atas dasar bukti yang bermasalah.
Sementara itu, kejanggalan ketujuh berkaitan dengan penyalahgunaan diskresi oleh penyidik. Hasnu memperingatkan bahwa dalih “diskresi” yang diambil oleh penyidik untuk memperkuat penetapan tersangka tidak memiliki landasan hukum yang sah.
Penetapan tanpa pemeriksaan jelas menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan, seiring dengan penetapan hukum yang melawan prinsip-prinsip keadilan yang hakiki. Pelanggaran ini tak dapat ditoleransi, dan seharusnya diusut hingga tuntas.
Implikasi dari Penangkapan yang Tak Sesuai Prosedur
Kejanggalan terakhir yang dicatat adalah bahwa penangkapan Delpedro dan rekannya terjadi tanpa pemberitahuan kepada pihak keluarga. Hal ini menunjukkan pelanggaran nyata atas prosedur penangkapan yang diatur dalam hukum.
Keluarga seharusnya diberi tahu tentang keberadaan dan keadaan orang yang ditangkap, sehingga mereka bisa melakukan langkah-langkah hukum yang diperlukan untuk membela hak-hak mereka. Artinya, tindakan ini telah melanggar prinsip dasar perlindungan hukum terhadap individu.
Melihat delapan kejanggalan ini, Lokataru menegaskan bahwa hakim memiliki alasan yang kuat serta kewajiban moral untuk mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh Delpedro dan rekan-rekannya. Tidak hanya berkaitan dengan prosedur, tetapi juga mengenai keberpihakan hukum terhadap keadilan dan kemanusiaan.
Pentingnya menjalankan proses hukum yang transparan dan adil menjadi tuntutan semua elemen masyarakat. Kasus ini mencerminkan bahwa keadilan bukan hanya sekadar semboyan, tetapi adalah hak asasi yang harus reclamation.















