Saat ini, desakan untuk mengusut tragedi yang menimpa Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo semakin menguat. Insiden yang menyebabkan hilangnya sejumlah santri ini menciptakan kepedihan mendalam, terutama bagi keluarga yang kehilangan, seperti yang dialami oleh keluarga Hamida Soetadji.
Hamida mengungkapkan bahwa cucu keponakannya, Mochamad Muhfi Alfian, yang berusia 16 tahun, menjadi korban dalam peristiwa tragis tersebut. Muhammad yang masih duduk di bangku kelas 1 SMA tersebut tercatat sebagai santri yang sedang menimba ilmu di Ponpes Al Khoziny.
Keluarganya mengaku hingga sembilan hari setelah tragedi, Muhfi belum juga ditemukan atau teridentifikasi. Kebingungan dan keresahan menghantui, terutama bagi orang tua yang sangat mengharapkan kehadiran sang putra.
Disappointment in Communication from Pondok Pesantren Authorities
Mimied, panggilan akrab Hamida, merasakan kekecewaan mendalam terhadap pihak pengurus ponpes. Hingga saat ini, tidak ada upaya dari kiai ponpes untuk menemui wali santri yang terkena dampak dari insiden tersebut.
Dia menyatakan bahwa hanya pengurus ponpes yang memberikan perhatian, sementara kiai seakan mengabaikan tanggung jawab tersebut. Hal ini semakin memperburuk situasi, di mana pendataan dan verifikasi data santri tidak dilakukan secara sistematis.
Menurutnya, data santri seharusnya sudah tercatat dengan baik dalam database ponpes. Namun, tidak ada bantuan dalam penyempurnaan data yang mereka harapkan.
Masalah Data yang Menghambat Proses Pencarian Korban
Saat ini, tim Basarnas harus berusaha sendiri untuk mencari data santri yang menjadi korban. Proses pencarian ini menjadi lebih rumit karena data yang diberikan tidak sinkron dengan informasi di lapangan.
Hal ini sangat disayangkan mengingat peran penting informasi ini dalam proses pencarian santri yang hilang. Keluarga merasa frustasi, sebab mereka telah berusaha untuk mengadakan pembaruan data sesuai alamat terbaru.
Mimied menjelaskan bahwa keluarganya sudah berpindah alamat dan melaporkan perubahan enam bulan lalu, namun hingga saat ini pembaruan tersebut tidak pernah direkam oleh pihak pengurus ponpes.
Pengaruh Trauma terhadap Keluarga Korban
Tragedi ini tidak hanya berdampak pada hilangnya santri, tetapi juga menciptakan trauma bagi keluarga yang menanti kepastian. Keluarga santri yang terlibat merasa dihantui oleh ketidakpastian dan rasa sakit yang mendalam.
Mereka berharap penanganan kasus ini bisa menjadi perhatian semua pihak, agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Dukungan moral dan emosional dari masyarakat menjadi harapan dan penguat bagi mereka yang kehilangan.
Keinginan untuk mendapatkan keadilan dan transparansi dalam pencarian santri sangat mendesak. Dalam situasi seperti ini, pengurus ponpes diharapkan dapat berperan aktif dalam membantu keluarga.