Di tengah perbukitan hijau dan keramahan masyarakatnya, terdapat satu bangunan unik yang menyimpan kisah menarik, yaitu Bukit Rhema di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Bangunan yang dikenal dengan sebutan Gereja Ayam ini sebenarnya merupakan simbol toleransi, dan bukan gereja seperti namanya mengacu.
Aries Tiadi, seorang pemandu wisata lokal, menjelaskan bahwa tempat ini didirikan sebagai rumah doa untuk semua umat beragama, menyimbolkan keinginan untuk hidup berdampingan dengan damai. Nama “Gereja Ayam” muncul dari bentuk bangunan yang unik, meski tujuannya jauh lebih mendalam dan universal.
Sebuah struktur megah yang memiliki tujuh lantai ini menghadap ke lanskap indah Magelang yang dikelilingi oleh gunung-gunung terkenal seperti Gunung Merapi dan Merbabu. Dari puncaknya, pengunjung dapat menikmati pemandangan luar biasa, termasuk Candi Borobudur, ketika cuaca cerah.
Mengenal Bukit Rhema dan Penyebutan Gereja Ayam yang Populer
Bukit Rhema menjadi salah satu tempat yang menarik perhatian banyak orang karena konsep toleransi yang kuat. Masyarakat di sekitarnya memiliki rasa kebersamaan yang tinggi, dan ini tercermin dalam setiap sudut bangunan tersebut. Memasuki area ini, pengunjung dapat merasakan atmosfer damai dan harapan yang diciptakan oleh para pendirinya.
Di lantai pertama bangunan, terdapat Ruang Doa Bhinneka yang dirancang untuk melayani semua umat. Di area depan bangunan, terdapat struktur yang menyerupai kapal dengan jalur salib, menambah nuansa unik tempat ini, di mana pengunjung dapat melakukan doa sesuai kepercayaan masing-masing.
Nama “Gereja Ayam” merupakan hasil dari kesalahpahaman yang terjadi sejak awal pembangunan. Daniel Alamsyah, pencipta tempat ini, memiliki visi untuk mendirikan rumah doa, namun bentuk bangunan yang belum selesai membuat masyarakat mengira bahwa itu adalah gereja. Nama tersebut akhirnya melekat dan menjadi sebutan resmi tempat wisata.
Sejarah Pembangunan dan Perkembangan Bangunan
Pembangunan dimulai pada tahun 1992 dengan bantuan masyarakat sekitar, namun terhambat oleh krisis moneter yang muncul pada 1998. Pada saat itu, asumsi bahwa bangunan adalah gereja semakin kuat karena mayoritas penduduk setempat beragama Islam, meskipun Daniel selalu menekankan bahwa visi utama adalah sebagai tempat ibadah untuk semua agama.
Bentuk bangunan yang mirip dengan jengger ayam ternyata menyebar luas di masyarakat, memberi julukan yang sulit dihapus. Namun, seiring waktu, sebutan itu mulai diterima sebagai penanda dari keunikan bangunan tersebut. Bahkan, seiring meningkatnya popularitasnya, tempat ini menjadi tujuan wisata yang ramai dikunjungi.
Setelah tampil di film terkenal, popularitas Gereja Ayam melonjak. Adegan yang menampilkan puncak bangunan dalam film tersebut menarik perhatian banyak wisatawan, baik lokal maupun internasional, dan menjadikan tempat ini semakin terkenal setiap tahunnya.
Lebih dari Sekadar Tempat Wisata: Dampak Sosial
Masyarakat lokal merasakan dampak positif dari kunjungan wisatawan yang meningkat. Banyak kegiatan ekonomi baru muncul, seperti produksi makanan khas dari bahan lokal. Ibu-ibu desa mulai menghasilkan singkong goreng yang menjadi bagian dari layanan bagi setiap pengunjung.
Pengunjung bisa menikmati singkong goreng sebagai bagian dari tiket masuk. Situasi ini jelas memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal, membuat mereka merasa lebih diberdayakan dan terlibat dalam pembangunan komunitas.
Dengan demikian, keberadaan Gereja Ayam tidak hanya menjadi pusat rohani, tetapi juga peluang ekonomi bagi penduduk sekitar. Hal ini menciptakan sinergi antara pengunjung dan masyarakat setempat yang saling menguntungkan.
Fenomena Kunjungan Wisatawan dan Karakteristik Pengunjung
Kunjungan ke Gereja Ayam biasanya mencapai puncaknya selama akhir pekan dan hari-hari libur besar seperti Natal dan Tahun Baru. Jumlah wisatawan setiap harinya dapat berkisar antara 200–300 orang, tetapi saat liburan besar, jumlah tersebut bisa melonjak menjadi puluhan ribu.
Menariknya, wisatawan yang datang berasal dari berbagai latar belakang. Selain wisatawan domestik, banyak pengunjung dari luar negeri turut berkunjung, menciptakan suasana yang beragam dan penuh warna di Bukit Rhema.
Satu sudut yang menarik di tempat ini adalah area di mana pengunjung menuliskan doa dan harapan mereka. Tradisi membakar kertas doa di akhir tahun menjadi ritual yang diterima berbagai kalangan, menambah makna pada kunjungan mereka.
Kisah Gereja Ayam adalah contoh mengagumkan tentang bagaimana sebuah lokasi dapat menjadi simbol budaya, toleransi, dan harapan. Dengan arsitektur yang menawan dan tujuan mulia untuk bersatu, tempat ini mampu menarik banyak orang untuk datang dan menyaksikan keindahannya sendiri. Dengan segala cerita yang menyertainya, Gereja Ayam akan terus menjadi tempat yang diingat dan dicintai oleh banyak orang.















