Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menanggapi dengan serius fenomena pembayaran non-tunai melalui sistem QRIS. Ia mencermati isu ini dengan mengungkapkan pengalaman pribadi yang menunjukkan adanya tantangan bagi sebagian masyarakat, khususnya bagi mereka yang tidak menggunakan dompet digital.
Dalam sebuah kesempatan, Saleh menceritakan bagaimana ia pernah mengalami penolakan saat ingin membayar dengan uang tunai di sebuah restoran. Penolakan ini terjadi karena restoran tersebut menerapkan kebijakan hanya menerima pembayaran non-tunai, yang dianggapnya tidak memperhatikan kebutuhan semua kalangan.
“Saya dipastikan tidak bisa membayar dengan uang tunai karena kebijakan dari atasan mereka. Namun, saya berpikir, siapa sebenarnya atasan mereka? Jika atasan tidak memiliki kekuasaan legislatif, maka tidak seharusnya ada regulasi yang mengikat masyarakat,” ujarnya dengan tegas. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi seharusnya berlaku di tingkat yang lebih luas dan tidak bisa sewenang-wenang.
Saleh mengakui bahwa sistem pembayaran QRIS merupakan inovasi yang membawa kemajuan. Namun, ia berujar, tidak semua orang dapat beradaptasi atau memiliki akses terhadap teknologi tersebut.
“Bagaimana dengan orang yang hanya memiliki uang tunai? Menurut undang-undang, semua bentuk pembayaran harus diterima, kecuali ada indikasi bahwa uang tersebut palsu,” ungkapnya. Ini menegaskan bahwa penolakan terhadap uang tunai dapat melanggar hukum yang ada.
Dia juga menyoroti perlunya tindakan tegas dari pemerintah, terutama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Menurutnya, regulasi yang ada harus ditegakkan, agar tidak ada diskriminasi terhadap metode pembayaran.
Pengaruh Kebijakan Non-Tunai terhadap Masyarakat Luas
Pemerintah dan pelaku usaha harus memperhatikan dampak kebijakan pembayaran non-tunai pada masyarakat, terutama yang berusia lanjut. Banyak dari mereka masih bergantung pada uang tunai untuk transaksi sehari-hari, dan penolakan terhadap uang tunai dapat menjadi masalah serius.
Sistem pembayaran cashless menawarkan kemudahan, namun di sisi lain, harus diimbangi dengan edukasi bagi masyarakat. Tanpa pemahaman yang cukup, banyak orang menjadi tertinggal dalam era digital ini.
Penting bagi semua pihak untuk mengedukasi masyarakat tentang manfaat dan cara menggunakan dompet digital, tanpa mengesampingkan mereka yang lebih memilih atau hanya mampu bertransaksi menggunakan uang tunai. Kebijakan dengan pendekatan inklusif sangat diperlukan demi terciptanya keadilan dalam bertransaksi.
Urgensi Pengawasan Terhadap Kebijakan Pembayaran
Belum ada kesepakatan universal tentang cara yang harus diambil dalam mengelola pembayaran non-tunai di Indonesia. Inisiatif Qris harus berjalan selaras dengan hukum yang ada dan memperhatikan kebutuhan masyarakat.
Saleh menegaskan bahwa pengawasan harus menjadi prioritas utama dalam implementasi kebijakan ini. Jangan sampai ada pihak yang merasa terpinggirkan hanya karena tidak mampu mengikuti tren pembayaran yang ada.
Menekan para pelaku usaha untuk mematuhi hukum yang ada juga menjadi bagian penting dalam proses ini. Setiap tindakan yang melanggar hukum harus mendapat sanksi untuk mencegah terjadinya ketidakadilan di masyarakat.
Langkah Menuju Sistem Pembayaran yang Adil dan Inklusif
Agar suatu sistem pembayaran dapat berfungsi dengan baik, perlu adanya kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Hal ini penting agar setiap lapisan masyarakat, termasuk yang berpendapatan rendah, dapat mengakses berbagai metode pembayaran.
Pemerintah juga perlu menyediakan pelatihan dan informasi yang cukup tentang pembayaran digital kepada masyarakat. Dengan memahami cara dan manfaat dari sistem cashless, masyarakat diharapkan dapat beradaptasi dengan perubahan.
Ke depannya, integrasi antara uang tunai dan sistem digital mutlak diperlukan untuk menciptakan ekosistem ekonomi yang inklusif. Setiap individu berhak untuk memiliki pilihan dalam cara mereka melakukan transaksi dan tidak boleh ada satu pun metode yang mendiskriminasi.















