Situasi di dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) semakin memanas setelah beberapa Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) menolak keputusan Menteri Hukum terkait pengesahan Muhamad Mardiono sebagai Ketua Umum partai tersebut. Penolakan ini mencerminkan adanya ketidakpuasan di antara pengurus partai dan memicu ketegangan dalam struktur kepemimpinan, yang semakin menonjol menjelang masa pemilihan mendatang.
Ketua DPW PPP Banten, H. Subadri Ushuludin, dengan tegas mengungkapkan penolakan tersebut, menyatakan bahwa keputusan Menteri Hukum tidak mencerminkan kenyataan. Dia menegaskan pentingnya menjaga integritas dan keabsahan proses pemilihan yang dilakukan dalam Muktamar X di Ancol, Jakarta, yang baru saja diselenggarakan.
Subadri menjelaskan bahwa pada 2 Oktober 2025, DPW Banten telah resmi menyampaikan surat penolakan tersebut. Dalam surat itu, mereka menekankan bahwa tidak ada aklamasi untuk pengangkatan Mardiono, yang dianggap tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan pada saat Muktamar.
Penolakan terhadap SK Menteri Hukum dalam PPP Memunculkan Ketegangan
Penolakan tersebut tidak hanya datang dari DPW Banten. Ketua DPW PPP Jawa Timur, Mundjidah Wahab, juga menyampaikan pendapat serupa. Ia menyatakan bahwa Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dianggap tidak merepresentasikan realitas yang terjadi selama Muktamar X, yang seharusnya menjadi acuan bagi keputusan pengangkatan.
Mundjidah menganggap bahwa apa yang terjadi di Muktamar merupakan suatu proses demokratis yang perlu dihormati. Dengan demikian, keputusan yang diambil oleh Menteri Hukum dinilai mengabaikan suara dan aspirasi dari para anggota partai di lapangan.
Senada dengan Mundjidah, Masruhan Samsurie dari DPW PPP Jawa Tengah juga menekankan bahwa hasil Muktamar menunjukkan dukungan yang signifikan terhadap Agus Suparmanto sebagai Ketua Umum PPP. Menurutnya, kehadiran 31 DPC dari total 35 DPC yang sepakat untuk dukungan ini memperkuat klaim bahwa Agus telah terpilih secara aklamasi.
Pernyataan Kritis dan Dukungan terhadap Hasil Muktamar
Masruhan juga berencana untuk menanyakan ke Menteri Hukum mengenai keputusan yang dinilai tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada di Muktamar. Ia ingin memastikan bahwa suara para kyai dan ulama yang hadir dalam Muktamar tidak diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.
Kepedulian dan dukungan yang sama juga dimiliki oleh beberapa tokoh di Jateng yang merasa terkejut dengan putusan Menteri Hukum. Mereka menyatakan keprihatinan atas keputusan yang tidak sesuai dengan hasil kesepakatan di Muktamar yang dilaksanakan dengan prosedur yang benar.
Penolakan terhadap keputusan Menteri Hukum ini bahkan menjalar ke wilayah lain, dengan mayoritas pengurus DPC di berbagai provinsi menyatakan ketidakpuasan mereka. Di Nusa Tenggara Timur, tujuh DPC PPP secara resmi menyampaikan penolakan terhadap SK Menteri Hukum yang mengesahkan pengangkatan Mardiono.
Respons dari DPC di Nusa Tenggara Timur
Ketua DPC PPP Nagekeo, Abdul Kadir, mengungkapkan bahwa keputusan Menteri Hukum sangat tidak mencerminkan kenyataan selama Muktamar. Ia menjelaskan bahwa Mardiono tidak memiliki legitimasi yang kuat untuk diakui sebagai Ketua Umum PPP berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan.
Dengan membawa bukti yang ada, Abdul menegaskan bahwa Agus Suparmanto sebenarnya terpilih sebagai Ketua Umum PPP secara aklamasi. Hal ini menjadi masalah besar bagi internal partai, terutama jika keputusan ini dibiarkan tanpa ada klarifikasi dari pihak-pihak yang berwenang.
Abdul juga menegaskan bahwa keinginan kubu Mardiono untuk mengakui pengangkatan Mardiono sebagai Ketua Umum justru bertentangan dengan keputusan Muktamar X yang dihadiri oleh banyak anggotanya. Strategi yang dianggap tidak etis oleh beberapa pengurus dapat mengakibatkan perpecahan yang lebih dalam di tubuh PPP.
Pentingnya Mempertahankan Integritas Partai dalam Proses Pemilihan
Peristiwa ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga integritas dan kredibilitas partai politik dalam proses pemilihan. Dalam hal ini, PPP menghadapi tantangan berat untuk mempertahankan kesatuan dan kepercayaan anggotanya. Keputusan yang diambil oleh para pemimpin harus benar-benar mencerminkan pilihan anggotanya, bukan berdasarkan tekanan dari pihak luar.
Messing dengan proses organisasi dan keputusan yang diambil bisa berdampak jangka panjang terhadap citra partai di mata publik. Oleh karena itu, PPP perlu melakukan evaluasi serius terhadap mekanisme pengambilan keputusan yang ada agar insiden serupa tidak terjadi di masa depan.
Untuk membangun kembali kepercayaan di antara para anggotanya, PPP harus mampu menangani konflik internal ini dengan bijaksana. Transparansi dalam proses pemilihan dan akomodasi terhadap suara-suara yang terpinggirkan adalah langkah awal yang bisa diambil untuk memperbaiki keadaan.