Konflik kepemimpinan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali menjadi perdebatan hangat, terutama setelah Muktamar X yang berlangsung di Ancol, Jakarta. Kubu yang dipimpin Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto saling klaim legitimasi sebagai ketua umum, menambah kompleksitas yang dihadapi oleh partai ini.
Kondisi tersebut menciptakan tantangan besar bagi PPP, yang baru saja mengalami kegagalan menembus ambang batas parlemen di Pemilu 2024. Krisis internal ini menunjukkan betapa rentannya partai yang dulunya menjadi simbol persatuan umat Islam di Indonesia.
Menurut pengamat politik Iqbal Themi, ketegangan yang terjadi di PPP menggambarkan krisis eksistensial yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Krisis ini bukan saja berawal dari perpecahan internal, tetapi juga mencerminkan masalah struktural yang telah berlangsung lama.
Krisis Struktural di Dalam Partai Persatuan Pembangunan
Perebutan kekuasaan di PPP bukan hanya soal siapa yang menduduki posisi ketua umum, tetapi cerminan tantangan yang lebih besar yang harus dihadapi oleh partai ini. Iqbal mengungkapkan bahwa partai ini seringkali tidak peka terhadap dinamika politik yang ada di sekitarnya.
Di masa Orde Baru, PPP dikenal sebagai rumah besar bagi umat Islam, menyediakan wadah untuk menyuarakan aspirasi mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, posisi tersebut tampaknya semakin tergerus oleh perkembangan politik yang lebih modern.
Pasca reformasi, PPP justru terjebak dalam perpecahan yang makin dalam, kehilangan kursi di Senayan. Hal ini menjadi ironi yang menyedihkan bagi partai yang dulunya mampu bertahan meskipun di bawah represi politik yang ketat.
Risiko Menjadi Dinosaurus Politik
Iqbal menghimbau agar PPP segera melakukan introspeksi. Jika tidak, partai ini berisiko menjadi “dinosaurus politik”, yang besar di masa lalu tetapi akan kehilangan relevansi di era baru ini. Energi dan sumber daya yang ada bisa tersia-sia hanya karena perebutan kekuasaan.
Dalam pandangannya, perpecahan ini berdampak pada kekuatan elektoral partai. Dukungan publik terhadap PPP terus merosot secara signifikan, dari 10,7 persen pada Pemilu 1999 menjadi hanya 3,87 persen pada Pemilu 2024. Ini adalah sinyal jelas hilangnya kepercayaan dari umat.
Apabila PPP tidak segera berbenah, tantangan ini dapat berujung pada status partai yang hanya eksis di dokumen negara. Masyarakat mungkin akan melihatnya sebagai partai yang kehilangan arah dan tujuan, tidak lagi berdaya saing dalam kontestasi politik.
Pentingnya Reorientasi Kebijakan Partai
PPP perlu meninjau kembali kebijakan dan visi yang diusungnya. Reorientasi ini akan menjadi langkah krusial untuk mengembalikan kepercayaan umat. Memperkuat jaringan komunikasi dan menyediakan platform bagi aspirasi umat Islam di tanah air adalah langkah awal yang bisa diambil.
Identitas PPP sebagai partai Islam harus dimanfaatkan untuk merangkul berbagai kalangan dan menggali potensi yang ada dalam masyarakat. Kalau tidak, lemahnya dukungan publik akan berkonsekuensi serius bagi keberlangsungan hidup partai ini.
Diharapkan dengan adanya perubahan dan inovasi, lalu langkah-langkah strategis yang lebih adaptif, PPP bisa bangkit dari keterpurukan. Mendaur ulang strategi dengan pendekatan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan umat sangat penting di tahap ini.