Hari Nusantara diperingati setiap tanggal 13 Desember sebagai momen penting dalam sejarah Indonesia, di mana pelaksanaan Deklarasi Djuanda menjadi landasan hukum bagi kedaulatan laut negara. Peringatan ini tidak hanya sekadar mengenang, tetapi juga mengingatkan masyarakat tentang pentingnya mempertahankan wilayah maritim yang merupakan bagian integral dari identitas bangsa.
Melalui peringatan ini, diharapkan pemahaman mengenai hak-hak laut sebagai bagian dari kedaulatan dapat lebih tersosialisasi. Dengan demikian, generasi mendatang akan lebih menghargai dan memahami arti penting laut bagi kehidupan dan kelangsungan bangsa Indonesia.
Deklarasi Djuanda dibentuk pada tahun 1957 di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja, menjawab tantangan hukum internasional yang dinilai merugikan kepentingan Indonesia. Melalui dokumen tersebut, batas wilayah laut Indonesia ditetapkan tidak hanya sekadar tiga mil, tetapi seluruh perairan yang mengelilingi kepulauan Indonesia.
Pentingnya Deklarasi Djuanda bagi Kedaulatan Maritim
Pada dasarnya, Deklarasi Djuanda merupakan sebuah pernyataan resmi yang mendeklarasikan bahwa seluruh wilayah perairan di antara pulau-pulau Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari kedaulatan negara. Hal ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi Indonesia dalam menegaskan hak atas sumber daya laut yang melimpah di sekitarnya.
Pengakuan terhadap wilayah laut yang lebih luas ini juga berpotensi untuk meningkatkan perekonomian negara, melalui pemanfaatan sumber daya perikanan dan kekayaan alam lainnya. Dengan adanya penggarapan yang lebih baik, harapannya Indonesia dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Namun, dekrit ini juga menghadapi banyak tantangan, terutama dari negara-negara lain yang merasa dirugikan oleh pengakuan batas wilayah baru. Meskipun demikian, dengan menguatkan argumen dalam forum internasional, Indonesia berupaya meyakinkan dunia akan pentingnya pengakuan terhadap kedaulatan wilayah maritimnya.
Tanggapan Dunia Internasional terhadap Deklarasi Djuanda
Setelah Deklarasi Djuanda dikeluarkan, berbagai negara terutama dari dunia barat mengeluarkan pernyataan penolakan. Negara-negara seperti Australia, Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap perubahan batas laut yang diusulkan.
Di sisi lain, dukungan datang dari Uni Soviet dan China, yang melihat langkah Indonesia sebagai bentuk memperjuangkan hak negara berkembang. Dinamika ini menunjukkan betapa kompleksnya hubungan internasional dalam konteks perairan dan bagaimana kepentingan geopolitik bermain dalam hal ini.
Meskipun banyak tantangan yang dihadapi, upaya diplomasi Indonesia tidak berhenti. Melalui dialog yang terus dilakukan, Indonesia tetap mengedepankan pendekatan persuasif serta argumentasi yang kuat di forum-forum internasional untuk menjaga kepentingan maritimnya.
Proses Pengakuan Internasional atas Batas Laut Indonesia
Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia secara resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960 untuk memberikan kekuatan hukum terhadap Deklarasi Djuanda. Hal ini menjadi langkah konkret untuk memastikan bahwa hak-hak kemaritiman Indonesia diakui di kancah internasional.
Selanjutnya, pada tahun yang sama, Indonesia juga berpartisipasi dalam konferensi hukum laut yang diselenggarakan oleh PBB. Meskipun suara-suara penolakan masih dominan, langkah Indonesia untuk terlibat dalam dialog internasional menunjukkan inisiatif yang kuat untuk memperjuangkan hak-hak lautnya.
Upaya berkesinambungan ini memuncak pada pengakuan lebih luas dari negara-negara lain, yang akhirnya mengarah pada hukum internasional mengenai batas laut yang lebih mengakomodasi negara kepulauan seperti Indonesia. Hal ini menjadikan Deklarasi Djuanda sebagai salah satu pencapaian terbesar dalam sejarah hukum laut internasional.















