Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Amin Said Husni, menegaskan bahwa Rapat Pleno yang diketahui mengatasnamakan Pengurus Besar Syuriah tidak sah secara organisasi. Ia menegaskan bahwa rapat tersebut jelas melanggar Anggaran Rumah Tangga (ART) NU dan keputusan resmi dari Muktamar ke-34.
Dalam pandangannya, ada tiga alasan pokok mengapa rapat yang diklaim bertujuan untuk menetapkan “Pejabat Ketua Umum PBNU” itu tidak memiliki dasar hukum yang sah. Berdasarkan asas organisasi, setiap keputusan penting harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.
“Ini bukan sekadar masalah prosedural belaka. Agenda yang diusulkan justru bertentangan dengan keputusan tertinggi yang diambil dalam Muktamar,” ucapnya dengan tegas di Jakarta, pada 5 Desember 2025.
Keabsahan Rapat dan Alasan Penolakan Utama
Pertama, Amin mengungkapkan bahwa rapat tersebut dilatarbelakangi oleh keputusan Rapat Harian Syuriyah pada 20 November 2025, yang telah melampaui kewenangan yang ada. ART NU jelas menyatakan dalam Pasal 93 bahwa Rapat Harian Syuriyah tidak memiliki otoritas untuk mengambil keputusan yang mempengaruhi struktur Tanfidziyah.
“Keputusan itu hanya bersifat internal bagi Syuriyah Harian dan tidak memiliki efek hukum terhadap posisi Ketua Umum,” tambahnya menjelaskan lebih lanjut. Hal ini mengindikasikan bahwa keputusan tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan pejabat baru.
Kedua, Amin berpendapat bahwa prosedur kepemimpinan rapat telah dilanggar. Sesuai dengan Pasal 58 ayat (2) huruf c dan Pasal 64 ART NU, rapat pleno PBNU seharusnya dipimpin oleh Rais Aam dan Ketua Umum secara bersamaan.
“Bila Ketua Umum tidak dilibatkan dalam rapat, maka rapat pleno itu sudah batal demi hukum sejak awal,” ujarnya menambahkan kejelasan mengenai posisi legalitas rapat tersebut. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kehadiran semua elemen penting dalam pengambilan keputusan.
Prosedur Penetapan dan Ketentuan Jabatan
Kemudian, alasan ketiga yang diungkapkan Amin adalah bahwa agenda rapat yang diusulkan untuk menetapkan “Pejabat Ketua Umum” tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Peraturan Khusus Nomor 13, Pasal 4 ayat (1), menjelaskan bahwa jabatan sebagai Pejabat Ketua Umum hanya seharusnya diisi dalam kondisi tertentu, seperti saat pergantian antar waktu.
“Faktanya, KH Yahya Cholil Staquf masih aktif dan merupakan Mandataris Muktamar ke-34. Tidak ada situasi kekosongan jabatan yang membuat pengisian jabatan baru diperlukan,” jelas Amin dengan tegas.
Dari sini, ia menunjukkan bahwa rencana untuk menetapkan Pejabat Ketua Umum bertentangan dengan keputusan yang diambil pada Muktamar ke-34. Muktamar tersebut telah memberikan mandat penuh kepada KH Yahya Cholil Staquf untuk menjabat sebagai Ketua Umum PBNU.
Implikasi Hukum dan Tanggung Jawab Organisasi
Amin mengingatkan bahwa setiap upaya yang mencoba menggantikan wewenang Ketua Umum tanpa dasar konstitusi organisasi adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. “Ada aturan dan marwah dalam NU yang harus kita jaga,” tambahnya, menunjukkan pentingnya untuk mematuhi regulasi yang ada.
Jika ada agenda yang secara langsung melanggar keputusan Muktamar, maka itu merupakan pelanggaran serius yang harus diingat oleh semua pihak yang terlibat. “NU memiliki tradisi dan norma yang kuat, dan kita tidak bisa mengabaikannya,” tegasnya lebih lanjut.
Tidak hanya itu, Amin menekankan pentingnya pelaksanaan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi. “Setiap anggota wajib untuk menjaga integritas dan struktur organisasi. Hal ini penting bagi keberlanjutan dan reputasi NU di mata masyarakat,” pungkasnya dengan tegas.















