Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, baru-baru ini menjelaskan pentingnya klarifikasi mengenai restorasi keadilan (RJ) dalam konteks Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru. Dalam penjelasannya, ia menegaskan bahwa klaim yang menyebutkan RJ bisa disalahgunakan sebagai alat pemerasan adalah tidak berdasar dan menyesatkan.
Menurutnya, restorative justice seharusnya dipahami sebagai proses damai yang mengutamakan dialog antara pelaku dan korban. Ia juga mengungkapkan, mekanisme ini tidak boleh menjadi senjata untuk memaksa pihak tertentu dalam konteks penyelidikan tanpa adanya bukti yang jelas tentang tindak pidana.
Pentingnya Klariļ¬kasi mengenai Restorative Justice dalam KUHAP Baru
Habiburokhman menjelaskan bahwa dalam KUHAP baru, Pasal 74a dan 79 memberikan ruang untuk kesepakatan damai dalam proses RJ. Proses ini dapat dilakukan bahkan sebelum penerapan hukum yang lebih formal, asalkan dilakukan secara sukarela dan tanpa paksaan.
Dia juga menekankan bahwa pertanyaan mengenai siapa yang bisa menjadi pelaku dan korban sebelum adanya tindak pidana jelas sangat penting. Ini menyoroti perlunya kejelasan dan ketelitian dalam pelaksanaan RJ agar tidak disalahgunakan.
Klaim bahwa RJ dapat diselewengkan untuk kepentingan tertentu perlu dicermati dengan hati-hati. Habiburokhman menegaskan bahwa sistem hukum baru ini telah dirancang untuk mencegah adanya praktik pemerasan melalui mekanisme RJ.
Perlindungan terhadap Korban dan Pelaku dalam Proses RJ
Salah satu poin penting yang lebih ditekankan Habiburokhman adalah perlindungan bagi kedua belah pihak, baik pelaku maupun korban. Hal ini sudah diatur dalam pasal-pasal yang relevan dalam KUHAP baru, yang memastikan bahwa proses RJ tidak mengenal tekanan fisik maupun mental.
UU baru ini memberikan jaminan bahwa semua kesepakatan dalam RJ harus dilakukan tanpa intimidasi. Segala bentuk paksaan dan tekanan sangat dilarang, sesuai dengan ketentuan hukum yang ada.
Habiburokhman menyatakan, jika ada indikasi paksaan dalam proses RJ, maka kesepakatan yang dihasilkan menjadi tidak sah. Ini adalah salah satu cara untuk menjaga kredibilitas proses hukum dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Implikasi Hukum dari Restorative Justice di Masyarakat
Keberadaan restorative justice dalam sistem hukum kita tentu memiliki banyak implikasi. Salah satunya adalah kemungkinan penyelesaian dini untuk kasus-kasus yang berpotensi memperlama proses penegakan hukum. Ini dapat mengurangi beban di pengadilan dan memberikan kelegaan bagi para pihak yang terlibat.
Namun, kesuksesan implementasi RJ sangat bergantung pada pemahaman dan pelatihan kepada para penegak hukum. Habiburokhman menekankan pentingnya sosialisasi dan pendidikan untuk memahami prinsip-prinsip NJ secara menyeluruh.
Keterlibatan masyarakat dalam memahami dan mendukung mekanisme RJ ini akan menjadi kunci dalam kelangsungan praktik yang lebih adil dan manusiawi dalam penegakan hukum. Masyarakat perlu diberdayakan untuk aktif berpartisipasi dalam proses ini.
Pentingnya Kesepakatan Sukarela dalam Proses RJ
Kesepakatan sukarela adalah inti dari restorative justice. Penekanan pada kesukarelaan dalam pasal 81 KUHAP menunjukkan bahwa para pihak harus datang atas kemauan mereka sendiri untuk mencari penyelesaian. Paksaan atau manipulasi dalam bentuk apa pun sangat tidak dibenarkan.
Keterlibatan kedua belah pihak dalam proses RJ seharusnya memberikan rasa aman dan saling menghormati. Ini adalah fondasi bagi terciptanya keadilan yang sesungguhnya dalam masyarakat.
Habiburokhman menambahkan bahwa prinsip keadilan dalam konteks RJ adalah berbasis pada dialog yang terbuka. Dengan pendekatan seperti ini, diharapkan masyarakat dapat menjalin hubungan yang lebih baik setelah konflik terjadi.















