Pandangan ini diperkuat oleh Gustia Aju Dewi, seorang ahli dalam analisis perilaku, yang hadir dalam sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Ia mengungkapkan bahwa pemotongan informasi di era digital saat ini sering kali digunakan untuk membentuk persepsi publik yang tidak akurat.
“Perang saat ini bukan lagi tentang senjata, tetapi tentang informasi yang disalahartikan,” kata Gustia. “Sembilan puluh persen kebenaran dapat menjadi tidak akurat jika sepuluh persen informasi yang krusial tidak disertakan, yang menyebabkan disinformasi.”
Gustia juga menekankan bahwa pelaku penyebaran disinformasi, fitnah, dan kebencian dapat dilacak dengan menggunakan teknologi digital forensik yang berbasiskan kecerdasan buatan (AI). Penggunaan teknologi canggih ini memungkinkan untuk menelusuri siapa yang memulai narasi-narasi tersebut.
“Dengan teknologi AI, digital forensik dapat dengan mudah digunakan untuk melacak asal mula narasi Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian (DFK),” tambahnya. Hal ini mengindikasikan bahwa masalah ini merupakan isu melalui penciptaan opini negatif yang terstruktur.
Pernyataan ahli ini menyiratkan bahwa gelombang sentimen negatif terhadap DPR, termasuk individu seperti Ahmad Sahroni, tidak muncul secara alami melainkan disebabkan oleh manipulasi informasi yang terencana di media sosial.
Sidang MKD dijadwalkan untuk melanjutkan pemanggilan saksi dan verifikasi keterangan dalam waktu dekat, menandakan bahwa isu ini masih relevan dan membutuhkan perhatian lebih lanjut.
Strategi Perang Informasi di Era Digital di Indonesia
Di zaman sekarang, perang informasi memiliki kekuatan yang tidak dapat diremehkan dalam mengubah opini publik. Hal ini terlihat jelas di berbagai platform media sosial yang sering kali digunakan untuk menyebar berita palsu dan informasi yang menyesatkan.
Manipulasi informasi di media sosial juga dapat menyebabkan gejolak sosial. Ketika berita palsu beredar dengan cepat, dampaknya bisa sangat merusak bagi reputasi individu ataupun institusi.
Lebih lanjut, Gustia menjelaskan bahwa masyarakat perlu meningkatkan kecerdasan media untuk menyaring informasi yang masuk. Dengan cara ini, publik dapat lebih berhati-hati terhadap informasi ringan yang tampak akurat tetapi sebenarnya menyesatkan.
Mendeteksi Sumber Disinformasi dengan Teknologi AI
Penerapan teknologi AI dalam digital forensik memungkinkan untuk mengidentifikasi pelaku penyebaran informasi yang tidak benar. Ini memudahkan pihak berwenang untuk mengatasi ancaman disinformasi yang sering kali menyebar dengan cepat dan sulit dilacak.
Dengan menggunakan AI, pihak berwenang dapat menganalisis pola penyebaran informasi dan menemukan sumber asal dari disinformasi tersebut. Ini menjadi langkah penting dalam menjawab tantangan informasi dan membantu menciptakan lingkungan komunikasi yang lebih sehat.
Penting bagi semua pihak untuk berkolaborasi dalam usaha melawan disinformasi. Keterlibatan masyarakat juga krusial untuk membantu memverifikasi kebenaran suatu informasi sebelum menyebarkannya.
Dampak Negatif dari Disinformasi bagi Masyarakat
Disinformasi dapat memiliki banyak konsekuensi buruk bagi masyarakat, termasuk menciptakan ketidakpercayaan terhadap institusi publik. Ketidakpercayaan ini dapat mengakibatkan pembentukan opini publik yang bias dan merugikan.
Kemunduran moral pada masyarakat juga bisa terjadi akibat keterpaparan informasi yang menyesatkan. Masyarakat menjadi skeptis terhadap informasi yang sejatinya benar, sehingga meningkatkan kebingungan.
Lebih jauh lagi, disinformasi dapat memicu ketegangan dan konflik di tengah masyarakat. Ketika momen kritis berlangsung, informasi yang salah dapat memperburuk situasi dan menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.


							












