Laksamana Muda (Purn) Soleman B. Ponto baru-baru ini memberikan kesaksian sebagai ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 di Mahkamah Konstitusi. Dalam kesempatan tersebut, ia menguraikan perbedaan signifikan antara struktur dan fungsi TNI-Polri di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.
Kasus yang dibawakan, yaitu Perkara Nomor 114/PUU-XXIII/2025, melibatkan pemohon Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite. Syamsul adalah seorang mahasiswa doktoral dan advokat, sementara Christian merupakan lulusan sarjana hukum yang sedang mencari pekerjaan yang sesuai.
Soleman menjelaskan bahwa perubahan kebijakan yang terjadi selama dua era tersebut cukup berbeda, terutama dalam hal pengaturan dan koordinasi antara TNI dan Polri. Disertasi ini menarik perhatian banyak pihak, terutama yang berkecimpung dalam bidang hukum dan kebijakan publik.
Pergeseran dalam Struktur Komando TNI-Polri
Pergeseran dalam struktur komando menjadi salah satu topik utama dalam kesaksian Soleman. Ia mencatat bahwa selama pemerintahan SBY, TNI dan Polri memiliki garis komando yang lebih terpisah. Hal ini berujung pada hasil yang berbeda dalam penanganan berbagai isu keamanan.
Di sisi lain, era Jokowi terlihat lebih kolaboratif dalam hal operasi antar lembaga. Soleman mengindikasikan bahwa koordinasi ini penting dalam menangani isu-isu yang bersifat multidimensional, seperti terorisme dan pengamanan sosial.
Soleman juga menyebutkan bahwa pendekatan yang lebih terintegrasi antara TNI dan Polri diharapkan dapat menghasilkan respons yang lebih cepat dan efektif. Hal ini, menurutnya, bisa menurunkan tingkat kriminalitas dan memberikan rasa aman yang lebih kepada masyarakat.
Perbedaan Paradigma dalam Penanganan Keamanan
Dalam pandangannya, terbentuknya paradigma yang berbeda dalam penanganan keamanan antara kedua era tersebut. Selama pemerintahan SBY, pendekatan yang diambil cenderung lebih militeristik, sementara era Jokowi berfokus pada pendekatan hukum dan sosial.
Soleman mencatat bahwa perbedaan tersebut mencerminkan perubahan dalam cara pandang pemerintah terhadap ancaman-ancaman yang dihadapi. Ini termasuk pemahaman bahwa penanganan konflik memerlukan solusi yang lebih holistik dan partisipatif.
Selain itu, Soleman menekankan pentingnya memahami konteks sosial dan budaya dalam penanganan masalah hukum. Dalam pandangannya, pendekatan yang lebih sensitif terhadap kondisi masyarakat lebih mungkin mendatangkan hasil yang positif.
Implikasi Terhadap Kebijakan Publik dan Keamanan Nasional
Pentingnya diskusi tentang kebijakan keamanan nasional dan bagaimana penerapannya di masyarakat sangat relevan dengan pembahasan ini. Soleman mengungkapkan bahwa perubahan struktur dan paradigma ini harus diiringi dengan kebijakan yang mendukung kolaborasi antara TNI dan Polri.
Ia menambahkan bahwa pemahaman yang komprehensif mengenai fungsi masing-masing lembaga bisa memperkuat kapasitas mereka dalam menjalankan tugasnya. Kolaborasi ini diharapkan dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi keamanan.
Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam hal pelaksanaan di lapangan. Softer approach, atau pendekatan yang lebih lembut, mesti diimbangi dengan cukup ketegasan agar tidak mengurangi efektivitas tindakan yang diambil.