Menteri Agama Nasaruddin Umar baru-baru ini membuka Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Internasional 2025 di Pesantren As’adiyah, Wajo, Sulawesi Selatan. Ini merupakan momen yang sangat penting, karena untuk pertama kalinya, santri Indonesia berkesempatan berkompetisi dalam membaca kitab kuning bersama delegasi dari negara-negara lain di dunia.
MQK Internasional 2025 mengusung tema merawat lingkungan dan menebar perdamaian. Kegiatan ini bukan hanya sekadar lomba, tetapi juga menjadi wadah bagi para ulama, santri, dan akademisi untuk berinteraksi dan berbagi pengetahuan lintas negara.
“Tema kami sangat relevan dengan kondisi global saat ini. Kita perlu berkontribusi dalam menyelesaikan masalah lingkungan dan konflik yang mengancam kedamaian,” jelas Menteri Agama dalam sambutannya saat pembukaan.
Dalam kesempatan ini, Menag juga menyampaikan bahwa perang memiliki dampak yang sangat besar, menyebabkan banyak jiwa melayang. “Di sisi lain, perubahan iklim mengakibatkan lebih banyak korban jiwa. Ini memerlukan perhatian serius dari kita semua,” tegasnya.
MQK Internasional: Menyatukan Santri dari Berbagai Negara
MQK tahun ini diadakan dengan format yang sangat berbeda. Ini adalah edisi internasional pertama yang melibatkan delegasi dari negara-negara ASEAN, membuka peluang dialog antarbudaya dan memperkuat hubungan persaudaraan. Pesantren As’adiyah dipilih sebagai tuan rumah yang tepat untuk acara ini.
Menurut Menag, MQK juga menjadi sarana untuk memahami ajaran berbagai agama tentang pentingnya menjaga alam. “Kita harus menggali ajaran kita untuk mencari solusi bagi krisis lingkungan yang sedang terjadi,” kata Menag saat memberikan arahan.
Menag mengusulkan konsep ekoteologi sebagai langkah penting dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. “Ini adalah saatnya bagi kementerian untuk memfasilitasi kerjasama ini,” imbuhnya.
Dengan pelaksanaan yang berbasis digital, MQK tahun ini menawarkan efisiensi dan transparansi. Proses seleksi dan penilaian dilakukan secara daring, menjadikan acara ini lebih modern dan terakses luas. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi merupakan bagian dari proses pendidikan agama yang harus terus dikembangkan.
Pentingnya Merawat Lingkungan dalam Perspektif Agama
Menag menegaskan, {MQK} bukan hanya tentang kompetisi membaca kitab, melainkan juga pembelajaran tentang tanggung jawab kita terhadap lingkungan. “Ajaran-ajaran agama memiliki banyak pengetahuan yang bisa kita eksplorasi untuk melestarikan alam kita,” ucapnya.
Pembahasan tentang pelestarian lingkungan harus menjadi bagian integratif dalam setiap ajaran agama. “Kita harus menanami akidah kita dengan nilai-nilai yang mendukung keberlanjutan,” tambah Menag.
Dengan pendekatan yang inklusif, MQK diharapkan tidak hanya menghasilkan santri yang unggul dalam membaca kitab, tetapi juga santri yang memiliki kesadaran tinggi terhadap isu-isu lingkungan. “Kita perlu mencetak generasi yang peka terhadap lingkungan dan mampu berkontribusi dalam perubahan positif,” ungkapnya.
Selain itu, Menag juga menyatakan pentingnya mengintegrasikan pembelajaran agama dengan ilmu pengetahuan. “Kita perlu menjembatani pemahaman antara agama dan sains, agar santri memiliki perspektif yang luas dalam menghadapi masalah dunia,” ujarnya.
Merayakan Budaya dan Tradisi Melalui MQK
Acara pembukaan MQK Internasional diwarnai dengan pertunjukan seni budaya dari santriwati yang berasal dari Pesantren As’adiyah. Suguhan seni ini menjadi simbol kekayaan budaya Indonesia yang sangat beragam. “Kita ingin menunjukkan kepada dunia, betapa kayanya budaya kita,” kata Menag.
Ribuan masyarakat hadir untuk merayakan momen bersejarah ini, melihat bagaimana santri memadukan tradisi dengan nilai-nilai modern. “Kehadiran masyarakat adalah bentuk dukungan terhadap kegiatan ini,” tambah Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno.
Dengan diikutinya 798 santri semifinalis dari seluruh Indonesia ditambah dengan 20 peserta dari tujuh negara ASEAN, acara ini menunjukkan antusiasme yang sangat tinggi. “Kami juga mendapatkan observer dari Thailand dan Filipina, yang menambah keragaman perspektif di MQK,” ujar Suyitno.
Pesantren sebagai institusi pendidikan diharapkan terus berperan dalam mengembangkan kerukunan antaragama dan budaya. “Kami ingin MQK menjadi batu loncatan untuk menjalin kerjasama yang lebih luas di masa depan,” tutupnya.















