Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M Rizal Taufikurahman, memberikan perhatian khusus terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di DKI Jakarta. Ia mengungkapkan bahwa berbagai pasal dalam raperda tersebut berpotensi menimbulkan dampak negatif yang cukup signifikan bagi ekonomi lokal.
Rizal mengkhawatirkan bahwa pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak akan mengganggu usaha kecil. Ia berargumen, hal ini mungkin merusak struktur ekonomi yang saat ini bergantung pada aktivitas perdagangan masyarakat setempat.
“Jangan lupa bahwa pedagang kecil merupakan bantalan ekonomi Jakarta,” ucapnya, menekankan pentingnya menjaga keberlangsungan usaha kecil. Ia percaya bahwa jika larangan tersebut diterapkan, dampak negatif yang ditimbulkan akan sangat luas dan merugikan banyak pihak.
Dampak Ekonomi dari Raperda KTR yang Diusulkan
Dampak dari Raperda KTR ini bukan hanya akan dirasakan oleh pedagang kecil, tetapi juga akan memperlebar kesenjangan ekonomi di masyarakat. Rizal menambahkan bahwa, kondisi ini berpotensi memicu stabilitas sosial yang semakin menurun.
Pelarangan penjualan rokok, di samping menyasar kesehatan masyarakat, harus mempertimbangkan dampak ekonomis yang akan terasa di tingkat masyarakat. Rizal menyarankan agar pemerintah melihat lebih jauh aspek sosial-ekonomi yang terlibat dalam raperda ini.
Menurut Rizal, proyeksi hilangnya pendapatan dari sektor tembakau seharusnya menjadi perhatian serius. Pemerintah perlu mengevaluasi secara mendalam dampak fiskal dari kebijakan yang diambil, terutama dalam konteks pengelolaan keuangan daerah.
Keberpihakan Terhadap Usaha Kecil dan Menengah
Saat merumuskan raperda KTR, penting untuk mengedepankan keberpihakan pada usaha kecil dan menengah. Pertimbangan ini crucial agar tidak ada pihak yang dirugikan, terutama mereka yang bergantung pada sektor informal.
Rizal menggarisbawahi bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada isu kesehatan publik, tetapi juga harus memperhatikan dampak ekonomi yang ditimbulkan. Memang, kesehatan adalah hal yang penting, tetapi aspek ekonomi rakyat juga harus dipertahankan.
Dia optimis, jika kebijakan diambil dengan pertimbangan yang matang, maka bisa tercipta keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan keberlangsungan ekonomi. Inisiatif yang bijaksana adalah kunci untuk mencapai hal ini.
Strategi Fiskal yang Berkelanjutan dan Bertahap
M Rizal menekankan bahwa Pemprov DKI Jakarta perlu menempuh strategi transisi fiskal yang bertahap. Dalam hal ini, pemaksimalan cukai hasil tembakau (CHT) bisa dicoba sebagai langkah awal untuk mendukung pembangunan dan pemberdayaan.
Hal ini akan memperkuat struktur keuangan daerah tanpa harus langsung memotong sumber pendapatan yang ada. Rizal mendesak agar dipertimbangkan alternatif lain yang memberikan solusi guna mempertahankan roda perekonomian.
Sangat penting bagi pemerintah untuk tidak hanya fokus pada penurunan pendapatan dari sektor tembakau tanpa mencari sumber alternatif. Dengan memanfaatkan potensi cukai hasil tembakau, ada peluang untuk menjaga kestabilan ekonomi di Jakarta.
Pentingnya Dialog dan Kolaborasi dalam Kebijakan Publik
Rizal juga mengingatkan perlunya adanya dialog dan kolaborasi antara pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan. Ini termasuk pedagang kecil, organisasi masyarakat, dan pakar di bidang ekonomi. Keterlibatan semua pihak sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang komprehensif dan inklusif.
Dialog terbuka tentang kebijakan dapat membantu mengidentifikasi masalah yang mungkin tidak terlihat oleh para pembuat kebijakan. Dengan mendengarkan aspirasi dan keluhan masyarakat, pemerintah dapat merancang kebijakan yang benar-benar dapat diterima.
Misalnya, apabila pemerintah merancang kebijakan yang mempertimbangkan semua aspek, akan lebih mudah untuk menjalankan program-program kesehatan tanpa melanggar hak ekonomi masyarakat. Keseimbangan adalah kunci dalam mengelola kebijakan publik yang efektif.















