Dalam satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto, konsolidasi kekuasaan dan program populis menjadi sorotan utama. Analis politik, Arif Susanto, mengungkapkan bahwa Prabowo tampak berusaha menjauh dari pengaruh Joko Widodo, mantan atasan yang membantunya mencapai puncak kekuasaan di Indonesia.
Arif menjelaskan bahwa dalam usahanya keluar dari bayang-bayang Jokowi, Prabowo menghadapi tantangan berat. Diskusi lebih lanjut diadakan di Kantor LSM Formappi, di mana tema mengenai pengaruh Jokowi terhadap Prabowo menjadi pokok bahasan utama.
“Sulit untuk mendiskusikan Prabowo tanpa menyebut Jokowi,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa usaha Prabowo untuk memisahkan diri dari pengaruh Jokowi lebih rumit dibandingkan dengan apa yang dilakukan Jokowi terhadap Megawati Soekarnoputri.
Mengguncang Kabinet untuk Konsolidasi Kekuasaan
Langkah pertama Prabowo untuk mengonsolidasikan kekuasaan adalah melakukan reshuffle kabinet. Dalam satu tahun ini, berbagai perubahan telah dilakukan, termasuk penggantian menteri yang dianggap berafiliasi dengan Jokowi.
Reshuffle kabinet ini dilakukan karena alasan kinerja menteri atau dugaan keterlibatan dalam korupsi. Namun, meskipun ada perubahan, Arif menyebut tidak ada peningkatan signifikan dalam kinerja pemerintahan.
Perombakan kabinet ini, ungkap Arif, bukanlah strategi baru dalam politik Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa hampir semua reshuffle kabinet sebelumnya, dari Gus Dur hingga kini, tidak mampu meningkatkan efektivitas pemerintahan.
Pemerintahan yang Melibatkan Aparat Keamanan
Cara kedua yang ditempuh Prabowo adalah mengintegrasikan TNI dan Polri ke dalam berbagai aspek pemerintahan. Proses ini, menurut Arif, memiliki konsekuensi yang jauh lebih serius dibandingkan yang dilakukan oleh Jokowi.
Pelibatan aparat ini terlihat dalam pengelolaan ketahanan pangan yang melibatkan TNI dan dalam penanganan demonstrasi oleh personel kepolisian. Ini menandakan adanya pendekatan yang semakin represif terhadap masyarakat sipil.
Arif memperingatkan bahwa pendekatan ini dapat berdampak negatif pada kebebasan sipil. Ia mencatat bahwa Prabowo masih melihat masyarakat sipil sebagai tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah.
Program Populis yang Kurang Efektif
Langkah ketiga Prabowo dalam konsolidasi kekuasaan adalah meluncurkan program-program populis. Program-program ini diharapkan dapat menarik dukungan rakyat, namun efektivitasnya masih dipertanyakan.
Beberapa program populis yang diperkenalkan termasuk Makan Bergizi Gratis, Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Rakyat. Menurut Arif, ketiga program ini tidak dirancang dengan matang dan menghabiskan anggaran triliunan rupiah.
Efektivitas program-program tersebut menjadi sorotan. “Sudah seberapa berhasilkah program ini jika dana yang dikeluarkan sangat besar?” tanya Arif, menyoroti perlunya evaluasi lebih lanjut terhadap hasil dari program-program ini.
Kesimpulan Mengenai Kinerja Pemerintahan Prabowo
Setelah mengamati perkembangan dalam satu tahun terakhir, Arif sampai pada kesimpulan bahwa kinerja pemerintahan Prabowo tidak efisien maupun efektif. Penilaian ini didasarkan pada berbagai indikator yang menunjukkan ketidakpuasan masyarakat.
“Prabowo seharusnya lebih realistis dalam penilaian,” tegas Arif. Ia menyebutkan bahwa memberikan nilai “6” untuk kinerja pemerintahannya terlalu tinggi dan tidak mencerminkan kenyataan yang terjadi.
Dengan demikian, evaluasi yang obyektif dan konstruktif sangat penting untuk peningkatan dalam pemerintahan ke depannya. Jika tidak, tantangan yang dihadapi oleh Prabowo hanya akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu.