Persaingan untuk menjadi pewaris takhta Keraton Surakarta Hadiningrat kembali memanas, seiring dengan meninggalnya Pakubuwono XIII. Situasi ini mengundang perhatian masyarakat luas, terutama berkaitan dengan perbedaan nama kota yang dikenal sebagai Surakarta dan Solo.
Geografis antara Surakarta dan Solo tidaklah berbeda, namun sejarah dan budaya di masing-masing nama tersebut memberikan makna yang unik dan bersejarah. Keduanya memiliki cita rasa yang kaya, menjadi bagian penting dari identitas budaya Jawa Tengah.
Secara administratif, Surakarta adalah nama resmi, sedangkan Solo sering kali digunakan dalam percakapan sehari-hari. Sebuah pemahaman mengenai istilah ini dapat membangun kesadaran akan warisan budaya yang ada.
Sejarah Perubahan Nama dan Identitas Kota
Sejarah menyatakan bahwa nama asli daerah ini adalah Sala, yang merupakan sebuah desa kecil di tepi Sungai Bengawan Solo. Desa ini sebelumnya dipimpin oleh seorang tokoh agama, Ki Gede Sala, yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat setempat.
Ketika kolonial Belanda datang ke Pulau Jawa, pengucapan nama Sala mulai berubah akibat kesulitan mereka saat melafalkan huruf ‘a’. Dalegilaran ‘o’ pun kemudian diadopsi sehingga nama menjadi ‘Solo’.
Perubahan nama ini tidak hanya sekedar masalah pelafalan, tetapi juga menjadi simbol pengaruh kolonial yang masih terasa hingga saat ini. Nama Solo pun menjadi lebih akrab bagi penduduk setempat dan pengunjung yang datang.
Pindahnya Pusat Kerajaan ke Surakarta
Seiring berjalannya waktu, Desa Sala kemudian berubah menjadi pusat kerajaan ketika Keraton Surakarta Hadiningrat dibangun. Perpindahan ini dipicu oleh hancurnya Keraton Kartasura akibat pemberontakan yang dikenal sebagai Geger Pecinan pada tahun 1743.
Pemberontakan tersebut merupakan konflik antara etnis Tionghoa dan Jawa yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi, yang juga dikenali sebagai Sunan Kuning. Situasi ini menciptakan ketidakstabilan yang memaksa pemindahan lokasi keraton.
Keraton baru ini diterima sebagai simbol kebangkitan dan harapan baru bagi masyarakat, setelah melewati berbagai masa sulit akibat pengaruh kolonial serta konflik internal. Ini menjadikan Surakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa yang paling penting.
Perubahan Nama dalam Konteks Modern
Seiring waktu, nama Surakarta menjadi resmi, sedangkan Solo tetap dikenal sebagai sebutan sehari-hari. Hal ini menciptakan suatu dualitas identitas yang unik, di mana masyarakat memiliki cara masing-masing dalam merujuk pada tempat tinggal mereka.
Selain itu, munculnya kawasan baru bernama Solo Baru di Kabupaten Sukoharjo menambah kompleksitas identitas kota. Solo Baru dikenal sebagai pusat pertumbuhan modern dengan berbagai infrastruktur yang lebih modern.
Pusat bisnis dan pemukiman yang ada di Solo Baru memberikan alternatif bagi masyarakat yang mencari kehidupan yang lebih teratur serta fasilitas yang lebih lengkap. Meskipun demikian, Surakarta tetap mempertahankan nilai-nilai sejarah dan budayanya yang kaya.
Perebutan Takhta dan Dampaknya di 2025
Perebutan takhta Keraton Surakarta Hadiningrat kini kembali mencuat di tahun 2025, dengan klaim dari dua individu yang masing-masing mengaku sebagai Pakubuwono XIV. Situasi ini menciptakan ketegangan di antara pihak-pihak yang mengklaim hak waris.
Salah satu kandidat, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, mengaku dilantik sebagai raja baru, sementara saudaranya, KGPH Mangkubumi, juga memegang klaim berdasarkan hukum adat yang menyatakan bahwa mereka adalah pewaris sah.
Perpecahan internal ini menimbulkan kebingungan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama mengenai masa depan kejayaan Keraton Surakarta. Pemerintah setempat turut menegaskan perlunya menjaga ketertiban di masyarakat seiring dengan konflik suksesi ini.















