Nilai tukar rupiah mengalami penguatan yang signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pembukaan perdagangan hari ini, Jumat, 12 Desember 2025. Penguatan ini tercatat sebesar 10 poin atau 0,06 persen menjadi Rp16.666 per dolar AS, naik dari posisi sebelumnya yang berada di angka Rp16.676 per dolar AS.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyatakan bahwa penguatan ini dipicu oleh hasil dari pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang berlangsung pada bulan Desember 2025. Langkah yang diambil oleh The Fed saat ini menjadi sorotan utama pelaku pasar.
Josua menyebutkan bahwa dalam pertemuan tersebut, The Fed memutuskan untuk memangkas suku bunga kebijakan sebesar 25 basis points (bps) menjadi rentang 3,50–3,75 persen. Selain itu, keputusan untuk memulai kembali pembelian surat berharga Pemerintah AS senilai 40 miliar dolar juga menjadi faktor yang memengaruhi pergerakan pasar hari ini.
Menurut pengamat pasar, langkah-langkah kebijakan ini dianggap sebagai bagian dari strategi The Fed untuk keluar dari fase Quantitative Tightening (QT). Hal ini menimbulkan dampak negatif bagi nilai dolar AS secara luas, yang terlihat dari pergerakan nilai tukarnya terhadap mata uang lainnya.
Kenaikan jumlah klaim pengangguran awal yang terjadi pada pekan yang berakhir pada 6 Desember, mencatat angka 236 ribu, menjadi perhatian utama bagi investor. Angka tersebut melampaui estimasi konsensus yang hanya memprediksi 220 ribu klaim, menunjukkan banyaknya tantangan yang dihadapi oleh pasar tenaga kerja di AS.
Josua menegaskan bahwa kenaikan signifikan ini menunjukkan peningkatan mingguan terbesar sejak Maret 2020, yang memperkuat indikasi tentang melemahnya kondisi pasar tenaga kerja di AS. Seiring dengan berbagai faktor yang ada, kurs rupiah diperkirakan akan berkisar antara Rp16.625 hingga Rp16.725 per dolar AS.
Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Penguatan Rupiah
Penguatan nilai tukar rupiah tentunya tidak terlepas dari pengaruh faktor eksternal yang sedang melanda pasar global. Terutama terkait dengan keputusan yang diambil oleh The Fed yang berdampak pada pasar uang internasional. Hal ini menjadi momentum positif bagi banyak mata uang emerging markets, termasuk rupiah.
Kebijakan moneter yang lebih longgar dari The Fed memberikan angin segar bagi negara-negara berkembang. Dengan suku bunga yang lebih rendah, banyak investor beralih kepada instrumen investasi di negara berkembang yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi. Ini menjadi salah satu alasan mengapa rupiah dapat menguat di tengah ketidakpastian pasar.
Selain itu, keputusan untuk membeli kembali surat berharga pemerintah telah menciptakan likuiditas yang lebih besar di pasar. Likuiditas ini memberikan dukungan yang diperlukan bagi penguatan rupiah, serta memberikan keyakinan lebih kepada investor untuk kembali menanamkan modalnya di dalam negeri. Kesempatan ini diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil.
Di sisi lain, anjloknya angka pengangguran di AS menambah bobot bagi kekhawatiran pelaku pasar. Ketidakpastian ini berpotensi menghentikan pemulihan ekonomi yang saat ini tengah diupayakan. Dampaknya bisa menjalar ke berbagai sektor ekonomi, termasuk yang ada di Indonesia, sehingga perhatian terhadap inflasi dan pengangguran di AS perlu dilakukan dengan serius.
Kondisi Pasar Obligasi dan Implikasinya
Setelah pertemuan FOMC tersebut, yield obligasi pemerintah AS atau UST mengalami penurunan. Penurunan ini secara langsung berpengaruh terhadap pergerakan yield pada Surat Berharga Negara (SBN) di Indonesia. Hal ini memberikan dampak positif bagi penguatan nilai tukar rupiah dan stabilitas ekonomi domestik.
Yield SBN benchmark pada berbagai tenor tercatat mengalami penurunan. Untuk tenor lima tahun, yield berada di angka 5,63 persen, yang turun 3 bps dibandingkan sebelumnya. Sedangkan pada tenor sepuluh tahun, yield tercatat di 6,18 persen dengan penurunan 1 bps.
Kondisi ini mencerminkan minat investor yang tetap tinggi terhadap obligasi pemerintah meskipun ada tekanan dari faktor eksternal. Investor tampaknya mengambil sikap yang optimis, mempertimbangkan bahwa stabilitas politik dan ekonomi di Indonesia masih dianggap baik dalam pandangan mereka.
Volume perdagangan obligasi pemerintah juga menunjukkan penurunan, yang tercatat mencapai Rp19,98 triliun pada Rabu, 10 November lalu. Jika dibandingkan dengan sesi sebelumnya yang mencapai Rp21,98 triliun, ini menandakan adanya variasi dalam aktivitas pasar yang patut diperhatikan oleh pelaku pasar.
Proyeksi Jangka Pendek dan Panjang untuk Rupiah
Dari analisis yang dilakukan, kurs rupiah diperkirakan akan mengalami fluktuasi dalam jangka pendek. Namun, penguatan yang terjadi saat ini memberikan harapan bagi pelaku pasar bahwa kondisi ekonomi dapat terus membaik. Pergerakan mata uang ini akan sangat bergantung pada perkembangan ekonomi global, terutama dari AS.
Apabila kebijakan jangka pendek yang diambil oleh The Fed memberikan dukungan yang lebih besar bagi perekonomian, ada kemungkinan bahwa rupiah akan terus menguat. Di sisi lain, jika terjadi gejolak pada pasar tenaga kerja AS yang lebih parah dari proyeksi, maka tekanan terhadap rupiah bisa meningkat.
Penting bagi para pelaku pasar untuk terus memantau perkembangan indikator ekonomi, baik domestik maupun internasional. Keputusan yang diambil oleh bank-bank sentral di negara maju juga menjadi perhatian utama. Stabilisasi rupiah akan memerlukan sinergi antara kebijakan moneter dan fiscal yang solid dari pemerintah.
Secara keseluruhan, penguatan rupiah saat ini menjadi indikasi bahwa pasar masih mengharapkan ada perbaikan dalam kondisi ekonomi. Ini adalah momen penting bagi Indonesia untuk menunjukkan ketahanan ekonominya di tengah tantangan global yang terus berkembang.















