Polda Jawa Timur baru-baru ini melakukan penyitaan barang bukti dari rumah seorang aktivis bernama M Fakhrurrozi, yang lebih dikenal dengan panggilan Paul. Penangkapan Paul yang terjadi pada tanggal 27 September lalu menimbulkan banyak perhatian karena ia dituduh menghasut aksi demonstrasi di Kediri, Jawa Timur.
Penangkapan ini menyoroti berbagai dinamika yang terjadi dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Sementara itu, banyak judul berita dan opini masyarakat tentang hak asasi dan prosedur hukum yang dilanggar menjadikan kasus ini semakin kompleks.
Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Jules Abraham Abast, menjelaskan bahwa dalam penggeledahan di kediaman Paul, pihak kepolisian menyita sejumlah barang bukti yang dianggap penting untuk penyidikan. Barang-barang tersebut meliputi berbagai perangkat elektronik dan dokumen keuangan.
Proses Penangkapan yang Menjadi Sorotan Publik
Penggeledahan yang dilakukan oleh tim kepolisian menghasilkan beberapa barang, di antaranya ponsel, laptop, dan tablet. Selain itu, ada lima kartu ATM dan satu buku tabungan atas nama Paul yang juga diamankan sebagai bagian dari barang bukti.
saat mengungkapkan detail lebih lanjut, Jules menyatakan bahwa barang-barang tersebut menjadi penting untuk membuktikan keterlibatan Paul dalam aksi yang dimaksud. Namun, beberapa buku yang ditemukan tidak dianggap relevan dengan perkara yang tengah diusut.
Informasi tambahan menyebutkan bahwa buku-buku tersebut kemungkinan akan dikembalikan kepada keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua barang yang disita berkaitan dengan dugaan tindak pidana yang sedang diselidiki.
Pandangan Hukum Terhadap Penangkapan dan Penyidikan
Direktur LBH Surabaya, Habibus Shalihin, mengungkapkan kritik terhadap prosedur hukum yang diterapkan dalam kasus ini. Ia menganggap bahwa penangkapan Paul tidak mengikuti proses yang sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku.
Berdasarkan penjelasannya, penangkapan harus dilaksanakan setelah adanya pemanggilan dan dua alat bukti yang cukup. Namun, dalam kasus ini, Paul tidak menerima pemanggilan sebelumnya yang seharusnya menjadi langkah awal sebelum penangkapan.
Habibus menegaskan bahwa penetapan tersangka sebelum pemanggilan adalah sebuah pelanggaran terhadap hak-hak hukum kliennya. Pihaknya menyuarakan kebutuhan untuk mengikuti prosedur yang berlaku demi menjaga keadilan.
Implikasi Penangkapan terhadap Kebebasan Berpendapat
Penangkapan Paul memiliki dampak yang lebih jauh terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia. Aksi demonstrasi dan kritik terhadap pemerintah merupakan bagian dari hak konstitusi yang dijamin, tetapi penegakan hukum yang dianggap tidak adil dapat menciptakan suasana ketakutan di kalangan aktivis.
Dalam konteks ini, masyarakat diharapkan untuk mewaspadai segala bentuk tindakan yang dapat merugikan kebebasan sipil. Kasus Paul menjadi cermin bahwa setiap langkah hukum harus berlandaskan keadilan dan transparansi, bukan sekadar alat untuk mengekang suara yang berbeda.
Pengacara dan sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai bahwa tindakan represif terhadap aktivis dapat menimbulkan efek jera. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang ingin dibangun di negara ini.















