Sebelumnya, Aliansi Rakyat Anti Hoaks (ARAH) telah mengambil langkah hukum dengan melaporkan mantan anggota DPR RI, Ribka Tjiptaning, kepada Bareskrim Polri. Tindakan tersebut dilakukan karena adanya dugaan penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian terkait posisinya tentang gelar pahlawan nasional bagi Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Koordinator ARAH, Muhammad Iqbal, menjelaskan bahwa pernyataan Ribka Tjiptaning mengklaim Soeharto merupakan seorang pembunuh. Hal ini ia sampaikan dalam laporan yang dibuat di Mabes Polri, Jakarta Selatan, pada Rabu (12/11/2025).
“Ribka Tjiptaning menyatakan bahwa Soeharto itu adalah pembunuh jutaan rakyat,” tuturnya. Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah hal itu didasarkan pada putusan hukum yang konkret atau hanya sekadar opini pribadi semata.
Dasar Hukum dan Pernyataan Publik yang Kontroversial
Saat ini, Iqbal mempertanyakan kebenaran yang mendasari klaim tersebut. Sebab hingga hari ini, tidak terdapat putusan hukum yang menegaskan bahwa Soeharto bersalah atas tuduhan yang berat tersebut.
“Informasi seperti ini lebih menjurus pada ujaran kebencian dan berita bohong,” tandas Iqbal. Hal ini menunjukkan bahwa pernyataan publik harusnya didasarkan pada fakta yang akurat, bukan spekulasi belaka.
Lebih lanjut, Iqbal menegaskan pentingnya klarifikasi terkait pernyataan yang bisa menyesatkan publik. Menurutnya, setiap informasi yang dilontarkan oleh tokoh publik atau politisi harus mempertimbangkan dampak yang bisa timbul di masyarakat.
Pentingnya Bertanggung Jawab Terhadap Ujaran Publik
Iqbal juga menyebutkan bahwa pernyataan yang tidak berdasar berpotensi menimbulkan malapraktik informasi. Dalam konteks ini, hal itu bisa menyebabkan penggiringan opini publik yang keliru dan berbahaya.
“Kami menemukan video pernyataan Ribka Tjiptaning di media mainstream serta platform sosial media TikTok pada 28 Oktober 2025,” jelasnya. Ini menunjukkan betapa mudahnya informasi yang tidak akurat dapat tersebar luas dan diterima oleh masyarakat tanpa verifikasi.
Dengan demikian, perlu adanya kesadaran dan tanggung jawab dari para tokoh publik untuk menyampaikan informasi yang faktual. Masyarakat juga diharapkan dapat lebih kritis terhadap informasi yang dikonsumsi.
Menangani Ujaran Kebencian dan Berita Bohong di Era Digital
Pihak ARAH mendesak Direktorat Siber Bareskrim Polri untuk segera menindaklanjuti laporan tersebut. Ini berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum terkait bahwa mereka sangat menentang tindakan penyebaran informasi yang bersifat menyesatkan.
“Ya, tentu saja ini bisa menyesatkan jika pernyataan ini tidak berdasarkan fakta hukum,” Iqbal menegaskan. Pentingnya penegakan hukum juga menjadi sorotan dalam konteks pencegahan penyebaran informasi yang merugikan.
Selain itu, upaya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi isu-isu terkait ujaran kebencian sangatlah krusial. Ini termasuk edukasi kepada masyarakat agar lebih memahami dampak negatif dari berita bohong.















